Pages

Kamis, 25 Oktober 2012

FANS BICARA: Win – Win Solutions, Bhinneka Tunggal Ika)

Djohar Arifin Husin & Farid Rahman - Ketua & Wakil Ketua PSSI (Arief Setiadi/GOAL.com Indonesia)
  OPINIFANDY PUTRA SOETANTO Mencermati kisruh dunia sepakbola tanah air Indonesia selama beberapa tahun terakhir, membuat masyarakat Indonesia geleng-geleng kepala. Saya pribadi terus terang, lebih memilih menonton sepakbola Eropa dari pada sepakbola tanah air. Namun, kisruh ini menimbulkan rasa keingintahuan saya lebih dalam mengenai sepakbola Indonesia, bukan dalam lapangan, melainkan di luar lapangan. Tidak bisa dimungkiri, kisruh organisasi sepakbola tanah air ini lebih menarik daripada sepakbola itu sendiri.Sudah cukup dengan basa-basinya, mari kita mulai dengan flashback ke beberapa tahun yang lalu. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pemerintahan maupun aparatnya dapat dikatakan sudah pada tingkat yang kritis. Hal ini tidak hanya sebatas pada aparat maupun pemerintahan, tetapi juga hampir di seluruh bidang, termasuk sepak bola.Masyarakat Indonesia sudah sering menyaksikan kecurangan-kecurangan wasit, hukuman-hukuman yang tidak mendidik, kerusuhan antar supporter maupun pemain, dan sebagainya. Hal ini pun terungkap dari pengakuan beberapa mantan pemain dan pelatih. Tentu saja hal ini membuat masyarakat Indonesia tidak senang. Puncak dari ketidaksenangan ini adalah dengan kalahnya Timnas Indonesia arahan Alfred Riedl pada piala AFF 2010. Seruan demi seruan ditujukan pada Nurdin Halid sebagai ketua umum PSSI untuk mundur.Seruan tersebut juga didukung oleh pengusaha Indonesia berinisial AP dengan aksi konkrit yaitu menciptakan liga tandingan, IPL. Layaknya sebuah tontonan drama, IPL seakan-akan dianggap sebagai superhero yang muncul membela kebenaran. Namun percayalah, inilah awal dari terpecahnya sepakbola Indonesia.Singkat cerita, Nurdin Halid sebagai ketua umum PSSI yang "tidak bisa berbahasa Inggris" (mengacu pada pengubahan statuta FIFA yang dilakukan PSSI Nurdin Halid), akhirnya digantikan oleh Djohar Arifin. "Wind of Change" sempat berhembus sejenak, selanjutnya PSSI semakin parah, dan bahkan "paling parah" sepanjang sejarah berdirinya PSSI itu sendiri.                Masih terciptanya dua liga professional, dua timnas, dua organisasi yang mengaku induk sepakbola nasional Indonesia, masalah hak siar, pemecatan pelatih tanpa ada alasan yang jelas, kekalahan telak timnas 10-0, dan yang paling baru adalah masih nunggaknya PSSI membayarkan hadiah utama sebesar 2,3 miliar Rupiah pada sang juara Semen Padang. Kacau balau!!! Dan untuk ini, kita semua harus bilang "wow" sambil Koprol-Koprol…Sekarang PSSI berhadapan dengan KPSI, kedua organisasi ini kemudian ditengahi oleh Joint Committe. Bahkan kedua organisasi ini sudah duduk bersama untuk menyelesaikan kisruh sepakbola tanah air, kesepakatan dan perjanjian pun telah dihasilkan. Berakhirkah kisruhnya? Tidak!!! Kisruh makin berlanjut, bahkan timnas KPSI berani menantang timnas PSSI, yang mohon maaf sebelumnya, timnas KPSI jelas-jelas lebih "berbobot" daripada timnas PSSI. Sebuah bentuk aroganisme dari KPSI.Muara dari permasalahan ini sebenarnya adalah gengsi (atau apalah istilahnya) dari KPSI dan PSSI. Sebagai buktinya adalah tantangan timnas KPSI pada PSSI tentunya. Pada awalnya PSSI pastinya penyebab utama kekisruhan ini, lalu muncullah KPSI yang bertujuan sebagai penyelamat sepakbola tanah air, akan tetapi bukannya menyelamatkan, melainkan malah menjerumuskan kisruh ini jauh semakin dalam. Sekarang baik KPSI maupun PSSI, saya rasa adalah penghancur sepakbola Indonesia. Kita pun tidak bisa melihat yang baik dan yang buruk lagi, semuanya menjadi wilayah abu-abu.Sebagai solusi, saya mengajak untuk flashback kembali bagaimana sejarah negara Indonesia terbentuk, sesuai dengan kurikulum 1994 yang saya dapatkan ketika di bangku sekolah dulu. Ketika merdeka, Indonesia dihadapkan pada dua kubu yang ingin menentukan paham Negara Indonesia ini. Kubu pertama ingin Indonesia menjadi Negara Islam, yang kemudian ditolak oleh kubu kedua. Akan tetapi atas dasar rasa Persatuan dan Kesatuan yang besar demi terciptanya suatu Negara Indonesia, kubu pertama mengalah dan kemudian lahirnya NKRI yang berpaham pada Republik.Musyawarah tersebut seharusnya kita ingat sebagai jati diri bangsa dan Negara Indonesia kita ini. Bagaimana suatu musyawarah, dapat melahirkan suatu keputusan yang tepat, dan bagaimana mengalah demi tujuan yang besar, demi tujuan persatuan dan kesatuan.PSSI dan KPSI harus mencontoh dan mengingat sejarah ini. Kisruh ini dimulai dari munculnya IPL pada era PSSInya Nurdin Halid. Mengapa semua pihak yang berkepentingan, tidak diajak musyawarah? Kembalikan format Liga Indonesia seperti di bawah Nurdin Halid. Karena format itulah yang resmi dari awal bukan? Kemudian setelah itu ada dua liga sampai sekarang ini. Anggap saja kedua liga tersebut tidak ada, atau "digantung" saja. Yup! Kembali ke awal sebelum perpecahan terjadi.Lalu bagaimana dengan klub juara dan klub degradasi-promosi? Tetap kembali ke awal! Artinya jika mereka dari liga kelas dua, ya, mereka tetap di liga kelas dua itu. Ingat! Kubu pertama yang ingin Indonesia berpaham Agama. Mereka mengalah bukan? Sikap seperti itulah seharusnya yang ditunjukan. Demi persatuan dan kesatuan! Sebagai kompensasi tentunya bisa diberikan penambahan poin ataupun berupa uang, untuk klub juara, promosi, dan degradasi. Klub-klub kloning, tidak ada pilihan lain harus melebur jadi satu dengan klub asalnya atau harus memulai lagi dari liga kasta terbawah. Karena mereka sebenarnya tidak resmi bukan?Dengan cara ini, kita semua bisa melihat bagaimana mereka mengalah untuk menyatukan kembali Sepakbola Indonesia. Demi satu tujuan, mengembalikan makna nama PSSI sebagai suatu Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia. Persatuan. PSSI yang bersatu. Ikuti perkembangan terkini sepakbola nasional di GOAL.com Indonesia. Dapatkan semua berita sepakbola Indonesia serta informasi terbaru timnas, klub-klub IPL, ISL, dan Divisi Utama, dengan jadwal, hasil, dan klasemen semua kompetisi di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar